Senin, 18 April 2011

Krisis Politik Timur Tengah dan Afrika Utara



Revolusi yang melanda Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini telah memberikan guncangan pada pasar investasi global. Kondisi revolusi yang diiringi kekerasan dan korban jiwa ini bisa berdampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan. Pasalnya akibat krisis politik di Mesir saja, harga minyak dunia, terutama yang diperdagangkan di bursa London naik dan sempat menjadi USS 100/ barel. Kenaikan harga minyak ini adalah konsekuensi logis dari krisis politik di Mesir mengingat negara ini menguasai terusan Suez, rute pelayaran kunci untuk minyak dan produk lain seperti gandum, minyak nabati, yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania. Setelah Libya diguncang krisis harga minyak mentah Brent naik mencapai USS 108/ barel.

Dampak untuk Indonesia
Lonjakan harga minyak dunia tentu akan membawa dampak serius bagi perekonomian nasional. Jika harga minyak dunia terus berada di atas level USD100 per barel, maka beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) otomatis akan bertambah mengingat subsidi negara terhadap bahan bakar minyak (BBM) masih cukup tinggi.
Asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2011 adalah USD80 per barel. Keseimbangan APBN yang terganggu akibat lonjakan harga minyak dunia cepat atau lambat akan membawa dampak negatif terhadap performa perekonomian nasional.
Tidak ada jalan lain, untuk meminimalisasi efek negatif dari akibat lonjakan harga minyak dunia pemerintah perlu mendorong efisiensi konsumsi BBM. Selama ini realitas seringkali menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi BBM tidak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga BBM yang murah karena ditopang subsidi pemerintah dicurigai sebagai salah satu sebab utama inefisiensi konsumsi BBM. Kritikan terhadap kebijakan subsidi BBM pun kian kencang terdengar.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2011 subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp92,8 triliun atau mengalami kenaikan dari besar subsidi tahun lalu yang hanya sebesar Rp88,9 triliun. Pada tahun 2010, sekitar 60 persen subsidi diserap oleh premium dan lebih dari separuh jumlah itu dinikmati oleh para pengguna mobil pribadi. Fakta paling mengenaskan dari kebijakan itu adalah 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15 persen. Sementara itu, 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen.

Sumber :
http://suar.okezone.com
http://www.vibiznews.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar